Angka persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 2024 menunjukan penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meski hanya turun sekitar 1,0%, angka tersebut masih dapat diapresiasi.
Sebelumnya sempat terjadi perdebatan di kalangan masyarakat terkait angka kemiskinan yang dikeluarkan oleh World Bank untuk Indonesia.
Hal ini disebabkan data tersebut berbanding jauh dengan jumlah kemiskinan yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, yang hanya sebesar 8,57%.
Namun pihak BPS akhirnya menjelaskan bahwa perbedaan besar itu dikarenakan adanya perbedaan standar batas garis kemiskinan yang digunakan.
Seperti yang sudah dijelaskan di halaman sebelumnya, World Bank menggunakan standar garis kemiskinan yang disesuaikan dengan kategori upper middle income country dan lower middle income country.
Kedua kategori tersebut memiliki batas garis kemiskinan yang berbeda namun diukur dengan metode yang sama yakni Purchasing Power Parity (PPP), metode ini menggunakan perhitungan daya beli antar negara.
Dan Indonesia sendiri baru saja masuk ke dalam kategori upper middle income country, sehingga pengeluaran per orangnya diukur dengan jumlah 6,85 USD atau Rp 113.164/hari.
Sedangkan, BPS menggunakan batas garis kemiskinan dengan pendekatan kebutuhan dasar (cost of basic needs). Sehingga yang dinilai hanya pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pada September 2024, batas garis per kapita ditetapkan Rp 595.242 per kapita/bulan atau Rp 2,8 juta per rumah tangga/bulan.
Batas yang ditetapkan di tiap provinsi juga berbeda, tergantung dari standar hidup tiap warga, perbedaan harga dan pola konsumsi.
Hal ini lah yang mengakibatkan meningkatnya persentase warga dengan pendapatan rendah di Indonesia yang dirilis oleh World Bank.
Pihak BPS juga telah mengatakan meski memiliki persentase angka yang jauh berbeda perhitungan keduanya tidak saling bertentangan.
“Perbedaan angka ini memang terlihat cukup besar. Namun, penting untuk dipahami secara bijak bahwa keduanya tidak saling bertentangan,” BPS dalam keterangan resminya (3/5/2025).
Namun, tidak dapat dipungkiri angka kemiskinan di Indonesia masih menghadapi tantangan serius, terutama dengan adanya masalah ketimpangan sosial dan ekonomi.
Data menunjukkan bahwa provinsi-provinsi di Indonesia Timur, seperti Papua dan Papua Barat, memiliki tingkat kemiskinan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi di Jawa dan Bali.
Hal tersebut bahkan dapat dilihat melalui berbagai postingan di media sosial, kondisi jalanan di daerah-daerah yang cukup terpencil cukup memprihatinkan.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara nasional terjadi penurunan kemiskinan, disparitas antar wilayah masih menjadi masalah utama.
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dalam kebijakan pembangunan agar manfaatnya dapat dirasakan oleh setiap lapisan masyarakat.
Simak juga seperti apa solusi yang sebaiknya dilakukan pemmerintah untuk atasi masalah ketimpangan sosial di halaman selanjutnya…
Angka persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 2024 menunjukan penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meski hanya turun sekitar 1,0%, angka tersebut masih dapat diapresiasi.
Sebelumnya sempat terjadi perdebatan di kalangan masyarakat terkait angka kemiskinan yang dikeluarkan oleh World Bank untuk Indonesia.
Hal ini disebabkan data tersebut berbanding jauh dengan jumlah kemiskinan yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, yang hanya sebesar 8,57%.
Namun pihak BPS akhirnya menjelaskan bahwa perbedaan besar itu dikarenakan adanya perbedaan standar batas garis kemiskinan yang digunakan.
Seperti yang sudah dijelaskan di halaman sebelumnya, World Bank menggunakan standar garis kemiskinan yang disesuaikan dengan kategori upper middle income country dan lower middle income country.
Kedua kategori tersebut memiliki batas garis kemiskinan yang berbeda namun diukur dengan metode yang sama yakni Purchasing Power Parity (PPP), metode ini menggunakan perhitungan daya beli antar negara.
Dan Indonesia sendiri baru saja masuk ke dalam kategori upper middle income country, sehingga pengeluaran per orangnya diukur dengan jumlah 6,85 USD atau Rp 113.164/hari.
Sedangkan, BPS menggunakan batas garis kemiskinan dengan pendekatan kebutuhan dasar (cost of basic needs). Sehingga yang dinilai hanya pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pada September 2024, batas garis per kapita ditetapkan Rp 595.242 per kapita/bulan atau Rp 2,8 juta per rumah tangga/bulan.
Batas yang ditetapkan di tiap provinsi juga berbeda, tergantung dari standar hidup tiap warga, perbedaan harga dan pola konsumsi.
Hal ini lah yang mengakibatkan meningkatnya persentase warga dengan pendapatan rendah di Indonesia yang dirilis oleh World Bank.
Pihak BPS juga telah mengatakan meski memiliki persentase angka yang jauh berbeda perhitungan keduanya tidak saling bertentangan.
“Perbedaan angka ini memang terlihat cukup besar. Namun, penting untuk dipahami secara bijak bahwa keduanya tidak saling bertentangan,” BPS dalam keterangan resminya (3/5/2025).
Namun, tidak dapat dipungkiri angka kemiskinan di Indonesia masih menghadapi tantangan serius, terutama dengan adanya masalah ketimpangan sosial dan ekonomi.
Data menunjukkan bahwa provinsi-provinsi di Indonesia Timur, seperti Papua dan Papua Barat, memiliki tingkat kemiskinan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi di Jawa dan Bali.
Hal tersebut bahkan dapat dilihat melalui berbagai postingan di media sosial, kondisi jalanan di daerah-daerah yang cukup terpencil cukup memprihatinkan.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun secara nasional terjadi penurunan kemiskinan, disparitas antar wilayah masih menjadi masalah utama.
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dalam kebijakan pembangunan agar manfaatnya dapat dirasakan oleh setiap lapisan masyarakat.
Simak juga seperti apa solusi yang sebaiknya dilakukan pemmerintah untuk atasi masalah ketimpangan sosial di halaman selanjutnya…