Fenomena Pernikahan Remaja di Lombok: Dampak Kesehatan, Mental, dan Tantangan Sosial-Budaya
27 May 2025 - Dbmedianews
Author: Janina Canakya Janissary
Editor: Ahmad Dzul Ilmi Muis
85 1

DB NEWS - Sebuah video pernikahan dua remaja asal Lombok Tengah, NTB, kembali menarik perhatian publik dan memicu diskusi tentang pernikahan di usia muda di tengah masyarakat Indonesia.

Pasangan yang terlibat dalam pernikahan dini ini adalah SMY (15), seorang siswi SMP dari Desa Sukaraja, Kecamatan Praya Timur, dan SR (17), pelajar SMK asal Desa Braim, Kecamatan Praya Tengah.

Pernikahan mereka diketahui dilakukan atas dasar kesepakatan keluarga dan tanpa ada paksaan dari pihak mana pun. 

Namun, fakta bahwa dua remaja belia harus memasuki institusi pernikahan telah memicu kekhawatiran banyak pihak, terutama dari kalangan pemerhati anak dan kesehatan masyarakat.

Salah satu aturan terkait perkawinan yang diatur oleh negara adalah batasan usia yaitu pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.

(BACA JUGA: Tidak Kompetitif, Prabowo Akan Ubah Regulasi TKDN Lebih Fleksibel: Kita Harus Realistis!)

Pasal ini berisi Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU 16/2019) mengatur bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.

Meskipun Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 telah menetapkan bahwa usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun, masih terdapat celah hukum berupa dispensasi nikah dari pengadilan agama. 

Celah ini sering dimanfaatkan oleh keluarga dengan dalih bahwa anak telah “siap” menikah atau karena adanya praktik adat membawa lari calon mempelai perempuan, yang secara budaya dianggap bagian dari proses pernikahan.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa permohonan dispensasi pernikahan anak di NTB terus meningkat setiap tahunnya. 

Pengadilan agama kerap kali mengabulkan permohonan tersebut tanpa mempertimbangkan aspek psikologis dan kesiapan biologis anak secara menyeluruh.

Provinsi Nusa Tenggara Barat termasuk dalam 10 besar daerah dengan angka pernikahan dini tertinggi di Indonesia. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka pernikahan di bawah usia 18 tahun di NTB mencapai lebih dari 15% dari total pernikahan di wilayah tersebut pada tahun 2023.

Pernikahan dini di NTB dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti budaya, tekanan sosial, ekonomi keluarga, hingga kurangnya akses informasi dan pendidikan seksual reproduksi. 

Di beberapa desa, pernikahan muda bahkan masih dianggap sebagai solusi untuk mencegah pergaulan bebas atau menjaga kehormatan keluarga.

Namun, praktik pernikahan usia dini dapat memberikan dampak jangka panjang bagi kesejahteraan anak, baik secara fisik, mental, maupun sosial.

Lantas, apa bahaya pernikahan dini untuk anak usia di bawah umur.

Bahaya Pernikahan Dini dari Aspek Kesehatan

Menurut WHO dan UNICEF, pernikahan di bawah usia 18 tahun sangat berisiko terutama bagi perempuan. Tubuh remaja perempuan belum sepenuhnya siap untuk mengalami kehamilan dan persalinan. 

Beberapa resiko medis yang umum terjadi akibat pernikahan dan kehamilan dini antara lain:

1. Komplikasi Kehamilan dan Persalinan

Remaja yang hamil memiliki risiko lebih tinggi mengalami komplikasi kehamilan, seperti anemia, hipertensi kehamilan, hingga persalinan prematur. 

Mereka juga lebih rentan terhadap preeklamsia, yaitu kondisi berbahaya yang bisa mengancam jiwa ibu dan janin.

2. Risiko Kematian Ibu dan Bayi

Angka kematian ibu dan bayi lebih tinggi pada kehamilan usia dini. Remaja perempuan usia 15–19 tahun memiliki resiko komplikasi persalinan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok usia dewasa menurut data WHO.

3. Tumbuh Kembang Anak Terhambat

Bayi yang dilahirkan oleh ibu remaja cenderung memiliki berat badan rendah, kekurangan gizi, dan berisiko tinggi mengalami keterlambatan perkembangan.

Dampak Pernikahan Dini terhadap Kesehatan Mental

Selain bahaya fisik, pernikahan dini juga memberikan tekanan berat terhadap kesehatan mental anak. Masa remaja seharusnya menjadi waktu eksplorasi, pengembangan diri, dan pendidikan. 

Namun, ketika pernikahan dilakukan terlalu dini, banyak anak kehilangan fase penting dalam kehidupan mereka. Berikut merupakan beberapa resiko dari sisi psikologis:

1. Depresi dan Gangguan Kecemasan

Studi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia menunjukkan bahwa anak-anak yang menikah di usia muda memiliki tingkat depresi dan kecemasan yang jauh lebih tinggi dibandingkan teman sebaya mereka yang belum menikah.

Hal ini disebabkan oleh tekanan baru sebagai pasangan dan (jika memiliki anak) sebagai orang tua, tanpa kesiapan psikologis yang cukup.

2. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)

Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa pernikahan anak memiliki korelasi kuat dengan risiko kekerasan dalam rumah tangga.

Kurangnya kesiapan emosional dan keterampilan komunikasi menjadi tantangan dalam relasi rumah tangga usia muda.

3. Rasa Isolasi dan Putus Sekolah

Banyak remaja perempuan yang menikah di usia muda mengalami hambatan dalam melanjutkan pendidikan.

Hal ini mengakibatkan mereka kehilangan akses terhadap pendidikan dan mempersempit peluang ekonomi di masa depan. 

Keterbatasan interaksi sosial dan terhentinya proses pengembangan diri kerap menimbulkan tekanan emosional.

Kemudian, apakah sudah ada upaya pencegahan dari fenomena pernikahan dini ini?

Berita Terbaru
Rekomendasi Berita
Fenomena Pernikahan Remaja di Lombok: Dampak Kesehatan, Mental, dan Tantangan Sosial-Budaya
27 May 2025 - Dbmedianews
Author: Janina Canakya Janissary Janina Canakya Janissary
Editor: Ahmad Dzul Ilmi Muis Ahmad Dzul Ilmi Muis
85 1
 

DB NEWS - Sebuah video pernikahan dua remaja asal Lombok Tengah, NTB, kembali menarik perhatian publik dan memicu diskusi tentang pernikahan di usia muda di tengah masyarakat Indonesia.

Pasangan yang terlibat dalam pernikahan dini ini adalah SMY (15), seorang siswi SMP dari Desa Sukaraja, Kecamatan Praya Timur, dan SR (17), pelajar SMK asal Desa Braim, Kecamatan Praya Tengah.

Pernikahan mereka diketahui dilakukan atas dasar kesepakatan keluarga dan tanpa ada paksaan dari pihak mana pun. 

Namun, fakta bahwa dua remaja belia harus memasuki institusi pernikahan telah memicu kekhawatiran banyak pihak, terutama dari kalangan pemerhati anak dan kesehatan masyarakat.

Salah satu aturan terkait perkawinan yang diatur oleh negara adalah batasan usia yaitu pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.

(BACA JUGA: Tidak Kompetitif, Prabowo Akan Ubah Regulasi TKDN Lebih Fleksibel: Kita Harus Realistis!)

Pasal ini berisi Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU 16/2019) mengatur bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.

Meskipun Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 telah menetapkan bahwa usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun, masih terdapat celah hukum berupa dispensasi nikah dari pengadilan agama. 

Celah ini sering dimanfaatkan oleh keluarga dengan dalih bahwa anak telah “siap” menikah atau karena adanya praktik adat membawa lari calon mempelai perempuan, yang secara budaya dianggap bagian dari proses pernikahan.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa permohonan dispensasi pernikahan anak di NTB terus meningkat setiap tahunnya. 

Pengadilan agama kerap kali mengabulkan permohonan tersebut tanpa mempertimbangkan aspek psikologis dan kesiapan biologis anak secara menyeluruh.

Provinsi Nusa Tenggara Barat termasuk dalam 10 besar daerah dengan angka pernikahan dini tertinggi di Indonesia. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka pernikahan di bawah usia 18 tahun di NTB mencapai lebih dari 15% dari total pernikahan di wilayah tersebut pada tahun 2023.

Pernikahan dini di NTB dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti budaya, tekanan sosial, ekonomi keluarga, hingga kurangnya akses informasi dan pendidikan seksual reproduksi. 

Di beberapa desa, pernikahan muda bahkan masih dianggap sebagai solusi untuk mencegah pergaulan bebas atau menjaga kehormatan keluarga.

Namun, praktik pernikahan usia dini dapat memberikan dampak jangka panjang bagi kesejahteraan anak, baik secara fisik, mental, maupun sosial.

Lantas, apa bahaya pernikahan dini untuk anak usia di bawah umur.

Bahaya Pernikahan Dini dari Aspek Kesehatan

Menurut WHO dan UNICEF, pernikahan di bawah usia 18 tahun sangat berisiko terutama bagi perempuan. Tubuh remaja perempuan belum sepenuhnya siap untuk mengalami kehamilan dan persalinan. 

Beberapa resiko medis yang umum terjadi akibat pernikahan dan kehamilan dini antara lain:

1. Komplikasi Kehamilan dan Persalinan

Remaja yang hamil memiliki risiko lebih tinggi mengalami komplikasi kehamilan, seperti anemia, hipertensi kehamilan, hingga persalinan prematur. 

Mereka juga lebih rentan terhadap preeklamsia, yaitu kondisi berbahaya yang bisa mengancam jiwa ibu dan janin.

2. Risiko Kematian Ibu dan Bayi

Angka kematian ibu dan bayi lebih tinggi pada kehamilan usia dini. Remaja perempuan usia 15–19 tahun memiliki resiko komplikasi persalinan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok usia dewasa menurut data WHO.

3. Tumbuh Kembang Anak Terhambat

Bayi yang dilahirkan oleh ibu remaja cenderung memiliki berat badan rendah, kekurangan gizi, dan berisiko tinggi mengalami keterlambatan perkembangan.

Dampak Pernikahan Dini terhadap Kesehatan Mental

Selain bahaya fisik, pernikahan dini juga memberikan tekanan berat terhadap kesehatan mental anak. Masa remaja seharusnya menjadi waktu eksplorasi, pengembangan diri, dan pendidikan. 

Namun, ketika pernikahan dilakukan terlalu dini, banyak anak kehilangan fase penting dalam kehidupan mereka. Berikut merupakan beberapa resiko dari sisi psikologis:

1. Depresi dan Gangguan Kecemasan

Studi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia menunjukkan bahwa anak-anak yang menikah di usia muda memiliki tingkat depresi dan kecemasan yang jauh lebih tinggi dibandingkan teman sebaya mereka yang belum menikah.

Hal ini disebabkan oleh tekanan baru sebagai pasangan dan (jika memiliki anak) sebagai orang tua, tanpa kesiapan psikologis yang cukup.

2. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)

Data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa pernikahan anak memiliki korelasi kuat dengan risiko kekerasan dalam rumah tangga.

Kurangnya kesiapan emosional dan keterampilan komunikasi menjadi tantangan dalam relasi rumah tangga usia muda.

3. Rasa Isolasi dan Putus Sekolah

Banyak remaja perempuan yang menikah di usia muda mengalami hambatan dalam melanjutkan pendidikan.

Hal ini mengakibatkan mereka kehilangan akses terhadap pendidikan dan mempersempit peluang ekonomi di masa depan. 

Keterbatasan interaksi sosial dan terhentinya proses pengembangan diri kerap menimbulkan tekanan emosional.

Kemudian, apakah sudah ada upaya pencegahan dari fenomena pernikahan dini ini?

Tautan telah disalin ke clipboard!