Masalah keuangan Sritex sebenarnya telah tercium sejak 2021, ketika perusahaan resmi berstatus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Gugatan PKPU dilayangkan oleh CV Prima Karya, kontraktor yang bekerja sama dengan Sritex dan anak-anak usahanya.
Pada 6 Mei 2021, Pengadilan Niaga Semarang mengabulkan gugatan tersebut dan menetapkan PKPU Sementara selama 45 hari.
Pada saat itu, total utang Sritex sudah mencapai Rp5,5 miliar, dan mereka masih memiliki sekitar 17.000 pekerja aktif.
Meski begitu, Sritex sempat membuktikan daya tahan dengan mencatatkan peningkatan ekspor sebesar 8,2 persen di tahun 2020, di tengah tren penurunan ekspor di wilayah Jawa Tengah.
Namun, ditengah usaha Sritex yang berhasil mempertahankan kondisi tersebut kondisi keuangan dan keputusan hukum yang berlaku membuat Sritex mau tidak mau menutup pabrik tekstil ini.
Kondisi keuangan dan hukum yang terus memburuk akhirnya membuat Sritex menghentikan seluruh kegiatan operasionalnya per Sabtu (1/3).
Dampaknya, ribuan karyawan kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba. Hal ini menjadi pukulan berat bagi keluarga besar Sritex dan masyarakat sekitar yang bergantung pada perusahaan tersebut.
Fakta bahwa lebih dari 17.000 pekerja terdampak PHK akibat skandal ini mencerminkan bahwa kasus korupsi korporasi bukan hanya soal angka, tapi juga tragedi sosial.
Pemerintah daerah dan Kementerian Ketenagakerjaan belum memberikan respons signifikan atas gelombang pengangguran di wilayah tersebut.
Padahal, Sritex bukan perusahaan sembarangan. Didirikan lebih dari 50 tahun lalu oleh H.M. Lukminto, perusahaan ini pernah menjadi kebanggaan Indonesia dalam industri tekstil.
Di bawah kepemimpinannya, Sritex berkembang pesat dan mampu menembus pasar internasional dengan ekspor ke lebih dari 100 negara serta menjadi pemasok seragam militer di lebih dari 30 negara.
Tak hanya secara hukum dan operasional, Sritex juga terpuruk di pasar modal saham, simak selengkapnya di halaman berikutnya!
Masalah keuangan Sritex sebenarnya telah tercium sejak 2021, ketika perusahaan resmi berstatus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Gugatan PKPU dilayangkan oleh CV Prima Karya, kontraktor yang bekerja sama dengan Sritex dan anak-anak usahanya.
Pada 6 Mei 2021, Pengadilan Niaga Semarang mengabulkan gugatan tersebut dan menetapkan PKPU Sementara selama 45 hari.
Pada saat itu, total utang Sritex sudah mencapai Rp5,5 miliar, dan mereka masih memiliki sekitar 17.000 pekerja aktif.
Meski begitu, Sritex sempat membuktikan daya tahan dengan mencatatkan peningkatan ekspor sebesar 8,2 persen di tahun 2020, di tengah tren penurunan ekspor di wilayah Jawa Tengah.
Namun, ditengah usaha Sritex yang berhasil mempertahankan kondisi tersebut kondisi keuangan dan keputusan hukum yang berlaku membuat Sritex mau tidak mau menutup pabrik tekstil ini.
Kondisi keuangan dan hukum yang terus memburuk akhirnya membuat Sritex menghentikan seluruh kegiatan operasionalnya per Sabtu (1/3).
Dampaknya, ribuan karyawan kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba. Hal ini menjadi pukulan berat bagi keluarga besar Sritex dan masyarakat sekitar yang bergantung pada perusahaan tersebut.
Fakta bahwa lebih dari 17.000 pekerja terdampak PHK akibat skandal ini mencerminkan bahwa kasus korupsi korporasi bukan hanya soal angka, tapi juga tragedi sosial.
Pemerintah daerah dan Kementerian Ketenagakerjaan belum memberikan respons signifikan atas gelombang pengangguran di wilayah tersebut.
Padahal, Sritex bukan perusahaan sembarangan. Didirikan lebih dari 50 tahun lalu oleh H.M. Lukminto, perusahaan ini pernah menjadi kebanggaan Indonesia dalam industri tekstil.
Di bawah kepemimpinannya, Sritex berkembang pesat dan mampu menembus pasar internasional dengan ekspor ke lebih dari 100 negara serta menjadi pemasok seragam militer di lebih dari 30 negara.
Tak hanya secara hukum dan operasional, Sritex juga terpuruk di pasar modal saham, simak selengkapnya di halaman berikutnya!